PAPAN PENGUMUMAN SMKS-PP:
=> SELAMAT TAHUN BARU 2014!!! SELAMAT LIBURAN. INGAT, MASUK SEKOLAH TANGGAL 6 JANUARI 2014...!!!



Agribisnis Produksi Ternak

IB. Inseminasi Buatan

            DEFINISI IB
IB adalah proses memasukkan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan
tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep
dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi
puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk membuahi
satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu spermatozoon. Potensi
terpendam yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik, apalagi yang
unggul dapat dimanfaatkan secara efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez, 1993).


Namun dalam perkembangan lebih lanjut, program IB tidak hanya mencakup
pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina, tetapi juga menyangkut seleksi
dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau
pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi,
pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan/ternak betina, bimbingan dan
penyuluhan pada peternak. Dengan demikian pengertian IB menjadi lebih luas yang
mencakup aspek reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi artificial
breeding (perkawinan buatan). Tujuan dari IB itu sendiri adalah sebagai satu alat yang
ampuh yang diciptakan manusia untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak
secara kuantitatif dan kualitatif (Toelihere, 1985).

SEJARAH IB
IB pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau.
Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan
tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar
cerdiknya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran
mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan
pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam
vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut
menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah
kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan
IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.
Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan piarann
dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada
tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk
melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul
tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke
dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk
anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan
yang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut
diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini
membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan
menghasilkan keturunan normal.
Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada
spermatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan menyaring semen
yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal di atas filter mempunyai daya fertilisasi
tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai
pengaruh pendinginan terhadap perpanjangan hidup spermatozoa. Dia mengamati bahwa
semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya
membunuh spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak
sampai dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil
penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang
mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang
ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia sebagai
Bapak Inseminasi.
Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang
dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut
sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang
memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha
mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar
dilakukan IB setelah perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan
dikuakkan dan dengan spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan
kembali diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang
praktis untuk dilaksanakan. Pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil
memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan
IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda
jantan yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya.
Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya penemuan
teknologi pembekuan semen sapi yang disponsori oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S.
Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan semen untuk waktu
panjang dengan membekukan sampai -79 0
C dengan mengunakan CO2 pada (dry ice)
sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi,

dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya
simpan yang lebih lama dan lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 0
C.
Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun
1950-an oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian
Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah
beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan),
Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga
FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan
sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat
mengurangi kepercayaan masyarakat.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan
karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya
alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi
perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang
dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun.
Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di
Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah measukan semen
beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai maju
dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunakan selama ini merupakan pemberian gratis pemerintah
Inggris dan Selandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru
membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen
beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula
pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya
dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974 menunjukkan angka
konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92
persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak 6
pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar
terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak
disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik
alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya
evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB,
perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian
penyakit.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IB
Penerapan bioteknologi IB pada ternak ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu
semen beku, ternak betina sebagai akseptor IB, keterampilan tenaga pelaksana
(inseminator) dan pengetahuan zooteknis peternak. Keempat faktor ini berhubungan satu
dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga
akan rendah, dalam pengertian efisiensi produksi dan reproduksi tidak optimal (Toelihere,
1997).
Permasalahan utama dari semen beku adalah rendahnya kualitas semen setelah
dithawing, yang ditandai dengan terjadinya kerusakan pada ultrastruktur, biokimia dan
fungsional spermatozoa yang menyebabkan terjadi penurunan motilitas dan daya hidup,
kerusakan membran plasma dan tudung akrosom, dan kegagalan transport dan fertilisasi.
Ada empat faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya kualitas semen beku, yaitu
(1) perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan
pembentukan kristal-kristal es; (2) cold-shock (kejutan dingin) terhadap sel yang
dibekukan; (3) plasma semen mengandung egg-yolk coagulating enzyme yang diduga
enzim fosfolipase A yang disekresikan oleh kelenjar bulbourethralis; dan (4) triglycerol
lipase yang juga berasal dari kelenjar bulbourethralis dan disebut SBUIII. Pengaruh yang
ditimbulkan akibat fenomena di atas adalah rendahnya kemampuan fertilisasi
spermatozoa yang ditandai oleh penurunan kemampuan sel spermatozoa untuk
mengontrol aliran Ca
2+
(Bailey dan Buhr, 1994). Padahal ion kalsium memainkan
peranan penting dalam proses kapasitasi dan reaksi akrosom spermatozoa. Kedua proses
ini harus dilewati oleh spermatozoa selama dalam saluran reproduksi betina sebelum
membuahi ovum.


Permasalahan pada kambing betina (akseptor IB) dalam kaitannya dengan kinerja
reproduksi adalah: (1) variasi dalam siklus berahi dan lama berahi, (2) variasi dalam
selang beranak (kidding interval) yang berkaitan dengan involusi uterus; dan (3) gejala
pseudopregnancy (kebuntingan semu).
Faktor terpenting dalam pelaksanaan inseminasi adalah ketepatan waktu pemasukan
semen pada puncak kesuburan ternak betina. Puncak kesuburan ternak betina adalah pada
waktu menjelang ovulasi. Waktu terjadinya ovulasi selalu terkait dengan periode berahi.
Pada umumnya ovulasi berlangsung sesudah akhir periode berahi. Ovulasi pada ternak
sapi terjadi 15-18 jam sesudah akhir berahi atau 35-45 jam sesudah munculnya gejala
berahi. Sebelum dapat membuahi sel telur yang dikeluarkan sewaktu ovulasi,
spermatozoa membutuhkan waktu kapasitasi untuk menyiapkan pengeluaran enzimenzim zona pelucida dan masuk menyatu dengan ovum menjadi embrio (Hafez, 1993).
Waktu kapasitasi pada sapi, yaitu 5-6 jam (Bearden dan Fuqual, 1997). Oleh sebab itu,
peternak dan petugas lapangan harus mutlak mengetahui dan memahami kapan gejala
birahi ternak terjadi sehingga tidak ada keterlambatan IB. Kegagalan IB menjadi
penyebab membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan peternak.
 Apabila semua faktor di atas diperhatikan diharapkan bahwa hasil IB akan lebih
tinggi atau hasilnya lebih baik dibandingkan dengan perkawinan alam (Tambing, 2000).
Hal ini berarti dengan tingginya hasil IB diharapkan efisiensi produktivitas akan tinggi
pula, yang ditandai dengan meningkatnya populasi ternak dan disertai dengan terjadinya
perbaikan kualitas genetik ternak, karena semen yang dipakai berasal dari pejantan
unggul yang terseleksi. Dengan demikian peranan bioteknologi IB terhadap pembinaan
produksi peternakan akan tercapai.
MANFAAT PENERAPAN IB
Manfaat penerapan bioteknologi IB pada ternak (Hafez, 1993) adalah sebagai
berikut :
a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;
c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);
d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka
waktu yang lama;

0 comments: